Terimakasih atas Kunjunganya jangan Lupa Komentarnya

Sabtu, 21 Januari 2012

Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak!


Pertama kali saya mendapat berita tentang penangkapan kawan-kawan punk di Aceh ialah satu malam setelah insiden tersebut terjadi (11/12/11). Perasaan saya bercampur aduk saat mengetahui beritanya. Jika mendengar berita konser punk digerebek oleh polisi barangkali agak biasa, tapi yang membuat berita tersebut luar biasa ialah penggerebekan dilakukan oleh polisi syari’ah (wilayatul hisbah/WH). Hal ini hampir tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah konser musik di Indonesia. Illiza Sa’aduddin Djamal, wakil walikota Banda Aceh yang bertanggung jawab atas penggerebekan tersebut mengatakan bahwa alasan penangkapan ialah karena “punk rock itu buruk dan tidak sesuai dengan syari’at Islam”.

Dalam insiden tersebut, 65 punk mengalami tindakan kasar dari aparat seperti pemukulan, pemenjaraan tanpa proses pengadilan, penggundulan, dibenamkan ke dalam air dingin, dan ‘pembinaan’ dengan paksa selama 10 hari di camp kepolisian (SPN). Illiza mengatakan bahwa penangkapan dilakukan guna ‘menyelamatkan’ generasi muda Aceh dari ‘perilaku yang negatif.’ Sejak itu pemerintah kota Banda Aceh berjanji akan bekerjasama dengan kepolisian, dan polisi syari’ah untuk terus mencari dan menangkap siapapun yang menunjukkan identitas punk di wilayah Banda Aceh. Dalam konteks ini, punk di Aceh dipandang sebelah mata. Ia diidentikkan dengan budaya nihilisme, seperti mengkonsumsi narkoba, free-sex, kekerasan, dan kriminalitas. Maka dari itu setiap punk yang ditangkap akan dikirim ke SPN untuk ‘dibina’ agar menjadi ‘anak yang baik’ dan ‘disiplin.’

Tindakan para aparat di Aceh ini telah melanggar hukum dan prinsip hak asasi manusia. Pertama, tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kawanan punk tersebut. Kedua, aparat melarang punk yang ditangkap untuk mendapatkan bantuan hukum. Ketiga, pihak aparat bahkan melarang mereka menghubungi orang tua mereka ketika ditangkap. Keempat, mereka dipaksa digunduli dan ‘dibina’ di luar kehendak mereka, dan di’permalukan’ di depan publik. Kelima, kebebasan berekspresi dan berkumpul mereka dibatasi (bahkan dinihilkan). Terakhir, pihak walikota Banda Aceh, kepolisian, dan polisi syari’ah telah melakukan diskriminasi kelompok sosial dimana komunitas punk dituduh bertentangan dengan agama dan syari’at Islam.

Terlepas dari pelanggaran hukum dan prinsip HAM yang dilakukan oleh pihak walikota, kepolisian, dan polisi syari’ah ini, sebagian masyarakat Aceh yang tergabung dalam sejumlah ormas Islam termasuk FPI, HUDA, PII, KAMMI, KAPMI dan HMI mendukung langkah untuk menganihilasi komunitas punk tersebut. Kini pelucutan elemen-elemen punk dari generasi muda di Aceh akan semakin gencar dilakukan. Dengan semangat ‘menjaga’ kemurnian syari’at Islam, aparat bekerjasama dengan ormas-ormas Islam di Aceh seolah-olah melancarkan ‘jihad’ melawan punk!

Langkah pemerintah dan kelompok Islam di Banda Aceh ini, bagaimanapun juga, telah menuai kritik dari masyarakat domestik dan internasional. Komunitas punk di Jakarta (17/12), Makassar (21/12), dan Bandung (23/12) menggelar aksi solidaritas untuk kawan-kawan punk yang ditangkap di Aceh dengan berunjuk rasa turun ke jalan. Mereka menuntut agar aparat di Aceh bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang dilakukan kepada saudara-saudara mereka, dan meminta agar pihak kepolisian serta walikota Banda Aceh segera membebaskan mereka, dan membersihkan nama baiknya. Di Moskow (15/12), komunitas Anarcho-punk Rusia menunjukkan aksi solidaritas yang serupa dengan menyampaikan pesan yang tegas kepada pemerintah Indonesia, yaitu dengan mencorat-coret tembok kantor Kedutaan Besar RI dengan tulisan “Religion=Fascism”, “Punk is not a crime!” Komunitas punk di London, Inggris (20/12) berdemonstrasi membuat petisi yang serupa yaitu agar kawanan punk di Aceh agar segera dibebaskan (‘Free the Aceh Punks!’). Di Amerika Serikat, komunitas punk di San Francisco dan Los Angeles mendatangai kantor Konsulat Jenderal RI dan menyatakan kekhawatiran mereka terhadap nasib punk di Aceh. Aksi solidaritas juga dilakukan melalui jaringan internet dimana berbagai komunitas punk di seluruh dunia, dari Eropa hingga Asia, ‘bertemu’ dan mengadakan sebuah kampanye mendukung kawanan punk di Aceh dengan mengumpulkan berbagai mixtape berupa kaset dan CD musik (punk, hardcore, dan crust) untuk dikirim ke komunitas punk di Aceh.

Meskipun respon dan kritik dari berbagai belahan dunia bermunculan, tampaknya pihak Walikota dan Kepolisian Banda Aceh tidak begitu peduli. Sebaliknya, mereka malah beranggapan bahwa “pembinaan” punk adalah suatu tindakan yang “benar”, dan tidak melanggar HAM. Ketika Kapolda Banda Aceh Iskandar Hasan ditelepon oleh Duta Besar Jerman dan Perancis yang mempertanyakan pelanggaran HAM terhadap kawanan punk tersebut, ia malah mengatakan pada mereka bahwa penggundulan dan pembenaman anak-anak ke air sungai merupakan sebuah “tradisi”. Ormas-ormas Islam seperti yang disebutkan di atas bahkan menganjurkan agar pembinaan 10 hari anak-anak punk di SPN semestinya diperpanjang hingga 3 bulan. Menurut mereka, punk telah keluar dari “norma agama, budaya, dan adat istiadat Aceh.”

Dari kasus ini setidaknya ada tiga inti masalah yang mengemuka. Pertama, terdapat mispersepsi antara pemerintah, aparat, dan masyarakat Aceh mengenai budaya dan komunitas punk. Punk dalam kasus ini dinilai sangat negatif, bahkan lebih buruknya lagi, dihakimi ‘sesat’ oleh sebagian kelompok Islam, meski punk sama sekali bukan sekte agama. Mispersepsi dan salah pengertian ini kemudian melahirkan persoalan yang kedua, yaitu seolah-olah adanya demarkasi antara punk dengan Islam (“punk versus Islam”). Di sini persoalan menjadi serius, karena penganut punk dan subkultur sejenisnya adalah orang-orang beragama yang kebanyakan Muslim. Masalah ini sangat penting untuk diklarifikasi bersama guna menghindari hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa yang akan datang. Pemerintah, masyarakat, dan ilmuwan, termasuk di dalamnya komunitas punk, mesti berdialog secara aktif dan mengklarifikasi persoalan punk versus agama ini sebelum berakumulasi atau merembet ke persoalan-persoalan lain yang lebih serius.

Mispersepsi Tentang Budaya Punk
Mispersepsi tentang punk sebenarnya sudah ada sejak budaya tersebut pertama kali lahir dan berkembang. Mispersepsi biasanya muncul karena adanya jarak antara subjek dengan objek yang ditelitinya, dalam hal ini masyarakat umum dengan komunitas dan budaya punk. Untuk bisa memahami apa dan bagaimana budaya punk, biasanya yang bersangkutan mesti hidup dekat atau di melebur di dalam komunitas tersebut. Paling sedikitnya yang bersangkutan mesti membaca terlebih dahulu tentang sejarah gerakan punk itu sendiri.

Punk lahir di Inggris dan Amerika Serikat pada pertengahan dan akhir dekade 1970-an sebagai respon spontan dari kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang buruk (perang dingin, krisis minyak, konflik kelas, pengangguran, kemiskinan, kesenjangan sosial). Beberapa kelompok anak muda dari kelas menengah dan pekerja yang tidak puas dengan kebijakan dalam dan luar negeri pemerintahnya melakukan semacam perlawanan melalui berbagai macam aktivisme. Selain aktivisme politik, perlawanan juga dilakukan melalui aktivisme seni dan budaya. Dengan semangat anti-kemapanan mereka bereksperimen dengan fashion dan musik yang berbeda dengan apa yang disajikan oleh industri budaya arus utama.

Dalam ranah fashion, Malcolm McLaren dan Viviene Westwood menciptakan punk style, yaitu Rambut Mohawk, Spikey, tattoo, piercing, T-shirt, kalung rantai, celana ketat berlubang (terkadang ditambal), dan sepatu boots. Desain pakaian yang serba ‘murahan’ ini sengaja dibuat sedemikian rupa, untuk membuat ‘shock’ orang-orang sekitar yang cenderung hidup dengan gaya mewah: pakaian rapih dan bermerk, berdasi, berkendaraan mewah, dan bergaul hanya sesama kaum elit. Adalah para personil band punk legendaris Sex Pistols seperti Johnny Rotten dan Sid Vicious yang pertama kali dijadikan ‘bahan percobaan’ McLaren dan Westwood untuk menggunakan style yang unik ini. Ketika anak-anak muda di Inggris mulai banyak menggunakan atribut punk dan berhamburan hidup di jalanan, masyarakat borjuis yang kebanyakan terdiri dari orang-orang konservatif langsung mencibir dandanan anak-anak punk yang dinilai oleh mereka ‘urakan’ dan ‘menjijikkan’.

Fashion punk mulai masuk bersamaan dengan masuknya musik punk ke Indonesia pada awal dekade 1980-an, tapi punk style ini baru mulai banyak diadopsi oleh muda-mudi Indonesia pada awal dekade 1990-an. Seperti di Inggris dekade 1970-an, orang-orang awam di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya) langsung mencibir orang-orang yang berdandanan a la punk tersebut. Meskipun sering dipandang negatif oleh masyarakat umum, semakin banyak pemuda di Indonesia yang tertarik menggunakan gaya punk. Sebagaimana yang dikatakan oleh Joanna Pickles (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Punk, Pop, and Protest: the Birth and Decline of Political Punk in Bandung: “pada pertengahan dekade 1990-an sudah banyak sekali di Bandung (dan kota-kota besar lainnya) orang-orang menggunakan Mohawk punk.”

Dalam ranah musik, beberapa anak muda di Inggris dan Amerika pada akhir 1960-an dan awal 1970-an melakukan eksperimen dengan musikalitas mereka. Bosan dengan jenis musik yang disajikan oleh media arus utama (pop, glamour rock, disco), mereka berusaha menciptakan jenis musik yang cenderung berbeda dari yang pernah ada sebelumnya. Dengan mengkombinasikan karakter folk, rock ‘n’ roll, rockabilly, garage rock, doo-wop, blues, ska, dan reggae, anak-anak muda ini melahirkan genre baru yang disebut Dave Marsh (1971) dengan ‘punk rock’. Legs McNeil (1976) kemudian mempopulerkan istilah ‘punk’ melalui majalah independen (fanzine) yang ia bernama Punk Magazine. Baru pada akhir 1970-an, istilah ‘punk’ dan ‘punk rock’ diterima secara umum untuk mendeskripsikan jenis musik yang dimainkan oleh scene musik di New York, khususnya di klab CBGB dan Max’s Kansas City (Dunn 2008: 194).

Band-band dan para musisi punk yang sering bermain di kedua klub tersebut, seperti The Voidoids, The New York Dolls, Television, The Heartbreakers, Blondie, The Ramones, dan Patti Smith melahirkan jenis musik yang menjadi karakter dasar musik punk ke depan. Gitar berdistorsi dengan chords yang sederhana (tiga chord diulang-ulang), ketukan drum yang cepat dan kadang monoton, lirik lagu yang pendek serta bernuansa politik dan anti-kemapanan, adalah karakter yang paling mudah ditemukan dalam jenis musik punk. Kualitas vokal dalam musik punk terkadang tidak terlalu dipermasalahkan. Inilah yang membuat banyak orang tertarik dengan musik punk: sederhana, mudah diikuti, dan semua orang bisa melakukannya.

Secara auditorial, musik punk mampu mentransmisikan energi yang dapat mendorong sebagian orang, baik itu musisi maupun audiens, untuk berani melepas energi negatif yang membelenggu dirinya. Jika kita mendatangi konser-konser musik punk atau underground, biasanya dapat ditemukan para penonton dan pemain melakukan head-banging dan moshing bersama-sama. Sekilas jika diperhatikan apa yang mereka lakukan (menabrakkan diri ke teman-teman yang lain, menari dan berjingkrak tak beraturan di depan panggung) tampak seperti sebuah aksi massa yang kacau dan tidak terkontrol, seolah seperti sebuah bentuk kekerasan massal. Tapi menurut Kevin C. Dunn (2008: 195) dalam artikelnya yang berjudul “Nevermind the Bollocks: the Punk Rock Politics of Global Communication”, aksi ‘brutal’ tersebut sebenarnya adalah bentuk eskpresi mereka untuk melepaskan diri dari segala beban mental dari kehidupan modern yang destruktif dan penuh kemunafikan.

Setelah moshing dan head-banging para penonton dan musisi biasanya kembali ‘normal’, namun membawa perasaan puas karena sebagian beban yang tadinya ia simpan dalam dirinya sudah terlampiaskan secara emosional. Seperti yang dikatakan oleh Themfuck vokalis band punk Bandung Jeruji: “setiap kali saya memainkannya, perasaan saya menjadi positif” (Pickles 2000). Dalam ilmu psikologi, apa yang disebut dengan punk rock, moshing, dan head-banging, adalah bagian dari bentuk ‘catharsis’, yaitu metode pelepasan emosi untuk menghilangkan konflik internal dalam diri. Dalam salah satu tradisi Sufisme abad ke-13, metode yang serupa juga dilakukan oleh para pengikut ajaran Jalaludin Rumi, yaitu melalui tarian yang disebut dengan tarian ‘Sama’ (whirling darvishes). Para pengikut tarekat ini melakukan tarian Sama hingga sekarang sebagai bentuk lain dari dzikir mereka kepada Allah.

Dick Hebdige (1979) dalam buku klasiknya yang berjudul Subculture: the Meaning of Style menjelaskan bahwa bentuk estetika punk (fashion dan musik) sangat syarat dengan makna. Bentuk estetika yang diproduksi oleh punk merupakan bentuk intervensi terhadap proses homogenisasi nilai dalam tatanan sosial dan budaya yang dikonstruksi oleh kelompok dominan. Sebagai contoh, ketika di sebuah masyarakat itu diterapkan sebuah nilai dimana pakaian yang ‘bagus’ itu ialah pakaian yang bermerk dan mahal, punk memberikan pandangan alternatif bahwa yang ‘bagus’ itu ialah pakaian yang murah dan hasil buatan sendiri. Ketika masyarakat mengatakan bahwa rambut yang indah itu adalah rambut yang ‘rapih’, ‘panjang,’ dan ‘lurus’, maka punk memberikan pandangan alternatif bahwa rambut yang ‘indah’ itu ialah rambut yang ‘semau gue’. Mohawk, Spike, dan gaya rambut punk lainnya, ditujukan untuk ‘mencemooh’ pandangan estetika yang dikonstruksi oleh kelompok-kelompok dominan dalam sebuah masyarakat. Begitupun definisi musik yang ‘bagus’ atau ‘indah’: menurut punk musik yang indah itu adalah hasil karya sendiri yang dibuat dari hasil kebebasan berekspresi, dan bukan dari hasil tuntutan pasar seperti yang sering ditayangkan di televisi atau radio.

Punk di Indonesia
Punk dapat masuk dan menyebar di Indonesia karena proses globalisasi. Meminjam teori globalisasi dari Fredric Jameson, Michael Bodden (2005: 2) menyebutkan bahwa dalam konteks negara yang otoriter dan represif, globalisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang positif. Berbagai bentuk ide dan produk budaya yang datang dari luar, dalam hal ini dapat memberikan semacam kebebasan kepada subjek yang hidup dalam negara tersebut. Menurut Bodden produk-produk budaya populer dari luar seperti Rap dan Punk, sangat membantu generasi muda Indonesia untuk berekspresi dalam tatanan politik dan budaya yang dibangun oleh Orde Baru (1966-1998).

Pada masa Orde Baru, sangat sulit bagi generasi muda untuk mengekspresikan dirinya secara bebas. Terkadang, istilah ‘bebas’ pun dianggap sebagai sesuatu yang ‘anomali’ dan subversif oleh kelompok dominan saat itu. Terkekangnya kebebasan berekspresi di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang, yaitu sejak masa kolonial hingga lahirnya Orde Baru pada tahun 1966. Peristiwa pembunuhan 500 ribu sampai satu juta orang lebih (Heryanto 1999; Collins 2002; Farid 2005) yang dituduh aktivis dan pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh militer dan ormas-ormas yang digerakkan oleh militer pada tahun 1965-1966 memberikan semacam ‘shock’ bagi kebanyakan rakyat Indonesia yang dampaknya masih terasa hingga sekarang. Setelah masa itu rakyat menjadi trauma untuk berbicara dan berpendapat secara bebas, apalagi mengkritik negara.

Orde Baru juga membatasi ruang gerak politik kaum terpelajar, khususnya mahasiswa. Melalui kebijakan ‘Normalisasi Kehidupan Kampus’ (NKK) pada tahun 1978 mahasiswa tidak diperkenankan melakukan politik praktis di dalam kampus. Setiap gerak-gerik mahasiswa pada saat itu selalu dikontrol oleh negara melalui kaki tangan negara pda level di universitas. Setiap kritik rakyat yang muncul dalam bentuk verbal maupun non-verbal selalu direspon dengan intimidasi, dan jika dinilai sangat ‘subversif’, ia akan berhadapan dengan militer.

Menurut Bodden (2005) Orde Baru juga mengajukan konsep ‘budaya nasional’ yang sebenarnya masih bersifat abstrak. Segala bentuk ekspresi budaya dari masyarakat yang dinilai tidak sesuai dengan karakter bangsa akan disensor bahkan dilarang untuk terus ada. Meskipun belum sampai tahap pelarangan, musik-musik Barat seperti punk rock, rap, dan metal dianggap oleh Orde Baru sebagai ‘Outlaw Genres’, atau jenis musik yang bertentangan dengan norma dan adat istiadat di Indonesia. Disebut ‘outlaw’ karena bentuk ekspresi dalam genre musik tersebut memuat elemen-elemen yang berpotensi melawan patronasi yang dibentuk oleh masyarakat dominan.

Sejak tahun 1966 Orde Baru telah membawa Indonesia kedalam struktur kapitalisme global. Ide tentang perdagangan bebas, privatisasi dan komersialisasi diterima sebagai norma yang akan membawa Indonesia lebih maju dan sejahtera. Ketika Indonesia masuk ke dalam sistem ekonomi neo-liberal pada akhir 1980-an, pemerintah semakin gencar mengeluarkan kebijakan privatisasi sumber daya alam dan komersialisasi segala aspek kehidupan sehari-hari. Alih-alih membuat rakyat Indonesia sejahtera, sistem ekonomi neo-liberal menyebabkan semakin tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran, serta semakin lebarnya jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin, pemilik modal dengan buruh.

Dalam konteks historis inilah budaya punk lahir dan berkembang di Indonesia. Budaya punk lahir sebagai respons kritis terhadap tatanan sosial, politik, budaya, dan ekonomi Orde Baru yang eksploitatif, opresif, dan hanya menguntungkan kelompok-kelompok elit. Jauh dari bentuk imperialisme budaya, punk disini justru diterima oleh kebanyakan anak muda Indonesia sebagai bentuk budaya yang mampu membebasan mereka dari belenggu neo-imperialisme negara yang berkolaborasi dengan aktor-aktor privat. Saya melihat setidaknya punk memberikan tiga fondasi penting yang dapat berkontribusi pada proses demokratisasi di Indonesia. Ketiga fondasi itu adalah anti-kemapanan, politik disalienasi, dan prinsip kemandirian (etika DIY).

Pertama, punk mengajarkan ideologi anti-kemapanan yang mendorong pemuda-pemudi Indonesia menolak rezim yang pro terhadap status quo atau anti perubahan. Ideologi anti-kemapanan dalam punk selalu mempertanyakan kembali semua ide dan norma yang sudah dianggap ajeg oleh masyarakat umum. Seperti yang diutarakan oleh oleh Pat-Thetic, vokalis dari band punk Amerika Anti-Flag, anti-kemapanan punk selalu “berupaya mencari pandangan alternatif tentang dunia yang lebih damai dan tidak destruktif” (Dunn 2008: 195). Beberapa band punk lokal seperti Puppen, Jeruji, Keparat, ketiganya dari Bandung, dan Marjinal dari Jakarta melalui musiknya berperan aktif dalam menyebarkan ideologi anti-kemapanan ini kepada audiens yang kebanyakan anak-anak muda yang frustasi dan kecewa dengan sistem yang dijalankan Orde Baru. Selain itu juga fanzine, majalah independen yang merupakan bahan bacaan alternatif kaum punk, yang didalamnya menyajikan tulisan-tulisan berupa cerita, diskusi, dan komik pendek tentang musik, gaya hidup sehat, dan artikel politik anti-kapitalisme yang berkontribusi dalam membangun kesadaran komunitas punk. Pada akhir 1990-an kesadaran komunitas ini kemudian bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik kolektif anti-korporatisme dan anti-militerisme, yang bekerjasama dengan kelompok sosial lainnya, mengakhiri kekuasaan Suharto pada pertengahan tahun 1998.

Kedua, punk melahirkan semacam ruang sosial alternatif yang terbuka untuk semua orang tanpa mempedulikan latar belakang ekonomi dan sosialnya. Ruang sosial alternatif ini terkadang disebut dengan istilah lain seperti ‘komunitas’ atau ‘tongkrongan’. Aturan dalam ruang komunitas punk ini hanya satu: siapapun boleh bergabung dan menjadi punk! Seperti yang dikatakan oleh Matt Davies (2005): “punk scene is of punks, by punks, for punks!” (komunitas punk itu dari punk, oleh punk, untuk punk!). Dalam komunitas punk semua orang dipandang setara, tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya. Singkat kata, punk berpegang pada prinsip egalitarianisme sosial dimana ia menentang sistem sosial yang hirarkis, feodal, otoriter, dan eksklusivisme. Banyak diantara mereka yang menganggap komunitas punk sebagai rumah kedua mereka. Bukan saja di dalamnya mereka bisa bebas berekspresi dan menjadi diri mereka sendiri, mereka juga bisa menemukan persahabatan dan solidaritas terhadap sesama. Ruang sosial alternatif yang demokratis seperti ini sangat berperan penting dalam memfasilitasi anak-anak muda yang termarjinalkan dan teralienasi oleh sistem kehidupan modern yang diskriminatif. Maka dari itu, punk mempunyai potensi untuk melawan proses alienasi dalam kehidupan sehari-hari. Kevin Dunn (2008) menyebut komunitas punk sebagai salah satu bentuk politik disalienasi (politics of disalienation).

Ketiga, punk menekankan prinsip kemandirian dan kesederhanaan dalam hidup. Etika Do It Yourself (DIY) yang merupakan prinsip utama dalam gaya hidup punk, mendorong anak-anak muda di Indonesia untuk berani berkarya. Prinsip DIY punk pada intinya mempercayai bahwa siapapun dapat mengejar atau mendapatkan apa yang menjadi impian dalam hidupnya. Jika impian itu belum ada, maka dia bisa menciptakannya sendiri. Siapapun bisa belajar bermain musik, menjadi pemain band, membuat album rekaman sendiri, membuat pakaian sendiri, membuat dan merangkai sepeda sendiri. Jika lingkungan tempat ia hidup tidak dapat memberikan kesejahteraan yang ia inginkan, maka ia bisa menciptakan kesejahteraan itu sendiri dengan membuat usaha sendiri. Sejak 1990-an, penerapan prinsip DIY oleh generasi muda punk di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan Bali telah berhasil membangun sistem ekonomi alternatif yang dapat mengurangi tingkat pengangguran dan pengeksploitasian buruh dalam ranah produksi budaya. Prinsip yang menekankan pada kemandirian dan anti-korporatisme ini berhasil melahirkan apa yang disebut dengan ‘budaya independen’ (budaya indie) yang banyak memberi ruang berkreasi bagi anak muda yang sebelumnya termarjinalkan oleh sistem kapitalis yang elitis dan eksklusif. Budaya indie ini mendorong berbagai usaha kecil seperti clothing, distro, studio musik dan rekaman, majalah, dan band-band indie semakin berkembang dan sebagian berhasil menembus pasar internasional. Unkl347 dan PeterSaysDenim adalah dua diantara sekian bisnis distro dan clothing lokal yang sukses menembus pasar di Eropa, Amerika, Asia Tenggara, dan Australia. Kesuksesan ini banyak memberikan inspirasi kepada anak muda Indonesia lain untuk melakukan hal yang sama. Agus Sopian (2003) barangkali menyebut budaya indie ini sebagai anti-bodi dari industri budaya kapitalis.

Dari penjelasan tentang tiga fondasi punk diatas (anti-kemapanan, politik disalienasi/egalitarianisme sosial, dan prinsip DIY) tampak bahwa budaya punk sangat berpotensi menjadi alat/media yang efektif untuk membangun perubahan sosial. Dia mampu memfasilitasi orang-orang yang termarjinalkan menjadi orang-orang yang mandiri dan kreatif. Seperti yang dikatakan oleh Kevin C. Dunn (2008) “punk merupakan bentuk aktivisme (agency) dan pemberdayaan (empowerment).”

Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak!
Komunitas punk di Indonesia adalah yang paling besar di Asia Tenggara, dan salah satu terbesar di dunia (Wallach 2008). Para pengikut komunitas punk tersebar hampir di seluruh pelosok tanah air; di pulau Sumatera, Jawa, Madura, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Meskipun komunitas punk di Indonesia berasal dari beraneka ragam latar belakang agama (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu) saya berani mengatakan bahwa mayoritas punk di Indonesia adalah orang-orang yang beragama Islam.

Wakil Walikota Banda Aceh, Kapolda, dan berbagai ormas-ormas Islam di Aceh berpandangan bahwa budaya punk itu ‘bertentangan’ dengan syari’at Islam. Tuduhan ini bermasalah karena dua alasan. Pertama, hingga sekarang mereka sama sekali belum menjelaskan bagian mana dari budaya punk yang bertentangan dengan syari’at Islam. Jika tuduhan mereka didasarkan pada stereotip bahwa punk menggunakan narkoba, melakukan sex-bebas, dan mengkonsumsi alkohol, itu tidak sepenuhnya benar. Budaya punk bukan sama dengan narkoba, free-sex, dan alkohol. Jika memang ada, maka pasal tuduhan itu tidak bisa dituduhkan pada seluruh komunitas punk karena tidak semua punk mengikuti gaya hidup seperti diatas. Masalah narkoba, sex-bebas, dan alkohol adalah masalah umum yang tidak bisa dituduhkan pada kelompok punk.

Dalam komunitas punk terdapat para pengikut yang mengadopsi gaya hidup straight-edge, yang artinya mengikuti ‘jalan yang lurus’. Dalam Al-Qur’an disebut dengan “shiraat al-mustaqiim”. Para straight-edge punk tidak melakukan sex-bebas, tidak mengkonsumsi narkoba dan alkohol. Sebagai penanda, banyak diantara punk straight-edge ini membuat tanda di balik kedua telapak tangannya dengan tanda ‘X’, yang berarti “I don’t do drugs, I don’t drink alcohol, dan I don’t perform illicit sex!” Sekarang, banyak diantara mereka yang memberi tanda straight-edge pada akun facebook atau twitter mereka (contoh: xWendyPunkx, xXTaufan_SanjayaXx, dsb.). Namun tanda ‘X’ ini tidak selamanya mereka tunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka cenderung menyimpannya dalam hati. Jika faktanya banyak punk yang mengikut jalan ‘shiraat al-mustaqiim’, maka bagian mana dari mereka yang bertentangan dengan syari’at Islam’? Sebagai tambahan, banyak sekali teman-teman punk yang berambut Mohawk, beranting, dan bertattoo tapi tetap rajin beribadah, mengikuti sholat Jum’at, berpuasa , bahkan ada yang sudah menjadi haji!

Kedua, tuduhan punk bertentangan dengan syari’at Islam tidak mempunyai dasar yang kuat. Budaya punk tentunya belum lahir pada zaman Nabi Muhammad SAW. Sumber syari’at Islam yang paling utama, Al-Qur’an dan Al-Hadits, tidak pernah menyinggung sama sekali tentang persoalan punk. Yang ironis dalam konteks pelarangan punk di Aceh adalah ketika para ulama belum pernah berdialog secara terbuka dengan budayawan, ilmuwan sosial, psikolog, dan subjek-subjek dalam komunitas punk, punk sudah dituduh duluan sebagai bentuk ekspresi yang subversif melanggar agama. Bukankah ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap metode ilm’ (learning) dan fiqh (comprehension) dalam penetapan syari’at Islam? Dan akhirnya tuduhan jatuh pada tindakan fitnah?

Saya pribadi berpandangan bahwa demarkasi antara Punk dengan Islam sebenarnya bukan murni berasal dari syari’at Islam seperti yang kebanyakan dijustifikasi oleh para aparat di Banda Aceh. Tapi berasal dari trauma sejarah imperialisme yang membelenggu rakyat Aceh dan umat Muslim lebih dari ratusan tahun (contoh: penjajahan Belanda). Ada sebuah asumsi yang digeneralisir bahwa semua produk budaya Barat seperti Punk dan Hip-Hop adalah bagian dari produk imperialisme baru, yaitu imperialisme budaya (cultural imperialism), yang hendak menghapuskan nilai-nilai, adat istiadat lokal, dan “menjajah kembali umat Muslim dengan cara-cara baru”. Ketakutan ini sebenarnya tidak beralasan karena punk itu secara inheren tidak bersifat mendominasi, dan tidak pernah ada ‘agenda’ menghapus budaya yang sudah ada sebelumnya. Sebaliknya, jika dilihat dari pembahasan saya di atas, budaya punk dalam sejarahnya justru digunakan oleh orang-orang lemah yang tertindas (mustadh’afin) sebagai media perlawanan terhadap budaya kelompok dominan yang eksploitatif dan destruktif. Jika ciri khas imperialisme budaya itu adalah homogenisasi, atau penyeragaman budaya, maka bukankah justru yang memegang peran sebagai ‘penjajah baru’ itu adalah pemerintah Aceh sendiri karena memaksakan orang-orang untuk berpakaian sesuai dengan yang dikonstruksikan oleh syari’at Islam di Aceh?

Sebuah ‘Trik’ yang bernama Syari’at Islam
Melalui tulisan ini sebenarnya saya ingin menyampaikan sebuah pandangan bahwa demoralisasi punk oleh pemerintah Aceh sebenarnya lebih kental dengan nuansa politik daripada agama. Alasan agama (Syari’at Islam) yang digunakan oleh pemerintah Aceh untuk memerangi budaya punk lebih nampak sebagai komoditas politik yang bertujuan untuk mempertahankan struktur kekuasaan kelompok elit yang sekarang sedang berkuasa di Aceh. Syari’at Islam juga digunakan untuk menekan kelompok-kelompok minor yang tidak mengikuti sistem yang diterapkan oleh kelompok dominan. Dalam hal ini, saya sangat setuju dengan apa yang ditulis oleh Akhmad Sahal di halaman Jakartabeat “Perlukah Polisi Syari’ah?”.

Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Edward Aspinall, seorang peneliti dari Australian National University yang berjudul “From Islamism to Nationalism in Aceh,” dijelaskan bahwa dalam sejarahnya syari’at Islam di Aceh selalu digunakan sebagai komoditas politik kelompok yang bertikai. Pada masa setelah revolusi kemerdekaan (1953-1962), Syari’at Islam dijadikan dijadikan alasan oleh Darul Islam (DI) untuk melawan pemerintah pusat yang mempertahankan ideologi Pancasila sebagai dasar negara. Kemudian sejak 1990-an hingga tahun 2004 pemerintah pusat di Jakarta justru menggunakan alasan yang dahulu digunakan oleh DI, yaitu Syari’at Islam dan Ukhuwah Islamiyyah untuk mempertahankan Aceh agar tidak merdeka dari Indonesia. Sebaliknya, para pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang berbeda haluan dengan DI, termasuk Hasan di Tiro, saat itu sudah tidak menghendaki lagi penerapan syari’at Islam dalam kehidupan bernegara.

Pada tahun 2002, salah seorang juru bicara GAM, Teuku Kamaruzzaman berkata, “Agama orang-orang Aceh itu hidup dalam dirinya masing-masing, sebagaimana di dalam sistem sosialnya. Kami orang Aceh, tidak membutuhkan syari’at Islam (dalam bentuk legal formal), ia adalah sebuah nilai, sebuah agama yang kita anut, tanpa diformalisasikan ke dalam bentuk hukum sekalipun, nilai-nilai itu masih tetap kita anut” (Aspinall 2007: 14). Kemudian juru bicara GAM yang lain juga menekankan bahwa implementasi syari’ah adalah “sebuah ‘trik’ yang dibuat untuk memanipulasi ulama dan seluruh populasi (di Aceh)” (Serambi Indonesia, 14 Desember 2000 dalam Aspinall 2007). Trik syari’at Islam ini tentunya masih digunakan hingga sekarang. Sebagian analis politik memandang bahwa pembinaan dan pelarangan komunitas punk di Aceh merupakan agenda yang dibuat oleh Wakil Walikota banda Aceh Illiza untuk meningkatkan popularitasnya sebelum pemilihan Walikota Banda Aceh periode 2012-2017 yang akan dilaksanakan pada bulan Februari 2012 nanti. Benar atau tidaknya analisis ini di luar pengetahuan saya, tapi yang pasti insiden punk versus syari’at Islam ini menutupi masalah yang sesungguhnya di Aceh: yaitu tingginya tingkat kemiskinan dan kesenjangan sosial di Aceh, dan korupnya sistem birokrasi yang selalu ‘berselingkuh’ dengan praktik-praktik korporat dan jelas-jelas merugikan rakyat.

Menuju ‘Ukhuwwah Punkiyyah’
Penangkapan dan pembinaan paksa kawanan punk di Aceh telah membangkitkan rasa solidaritas berbagai komunitas punk hampir di seluruh dunia. Penting untuk dicatat bahwa komunitas punk di luar negeri yang bersimpati ini kebanyakan bukan Muslim seperti punk-punk yang ditangkap di Aceh. Respon yang berskala internasional dan global ini menunjukkan bahwa rasa persatuan dan solidaritas punk tidak terbatas pada suku, etnis, ras, dan agama tertentu. Inilah yang ditekankan oleh punk, khususnya mereka yang berasal dari komunitas punk anti-rasis dan anti-fasis. ‘Ukhuwah Punkiyyah’ ini menyatukan seluruh umat manusia berdasarkan kesamaan prinsip dan nilai yang universal: melawan kemapanan dan tirani, menjunjung tinggi kesetaraan sosial, dan menerapkan prinsip kemandirian (DIY). Dan dari sepengetahuan saya yang hampir menghabiskan separuh waktu hidup saya di pendidikan Islam, ketiga prinsip punk diatas sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Nabi Muhammad lahir pada masa Arab Jahiliyyah menentang eksklusivitas bangsa Arab, khususnya suku Quraish. Nabi Muhammad mengajarkan kesetaraan sosial, menghapuskan perbudakan, dan meningkatkan derajat perempuan dan minoritas lain yang sebelumnya dianggap rendah. Islam mengajarkan untuk melindungi orang-orang lemah dan melawan ketiranian. Jika Islam dan Punk mempunyai kesamaan nilai secara substantif, lantas apa sebenarnya yang menjadi masalah disini?

Dari kasus punk di Aceh setidaknya ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil. Pertama, untuk menghentikan kesalahpahaman masyarakat terhadap komunitas punk, penting sekiranya bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk punk sendiri untuk mempersempit jarak sosial terhadap sesama. Karena kesalahpahaman muncul dari ‘ketidak-nyambungan’ antara subjek satu dengan subjek yang lainnya. Kesalahpahaman ini bisa dikikis melalui berbagai pendekatan komunikasi langsung dan tidak langsung. Pendekatan langsung bisa dilakukan melalui dialog dan obrolan santai dengan sesama anggota komunitas punk sendiri, teman-teman di luar komunitas, keluarga, tetangga, agamawan, para aktivis sosial dan keagamaan, dan aparat kepolisian dan pemerintah jika perlu. Sedangkan pendekatan tak langsung bisa dilakukan melalui distribusi informasi dan imej positif punk melalui jaringan sosial media melalui internet (blog, webzine, facebook, myspace, twitter, multiply, dan jaringan lainnya).

Kedua, demoralisasi dan dehumanisasi komunitas punk oleh kelompok dominan khususnya di Aceh sangat erat kaitannya dengan korupsi nilai-nilai agama oleh kelompok-kelompok kepentingan yang menggunakan jubah agama sebagai justifikasi atas kontrol mereka terhadap kelompok minoritas. Kelompok-kelompok agama yang tidak toleran ini kini semakin menjamur di Indonesia, dan sudah menjadi rahasia umum pihak pemerintah tidak mampu mengatasi kelompok-kelompok ini. Lebih buruknya lagi, dalam kasus tertentu tampak pemerintah dan aparat kepolisian terperangkap dalam kepentingan kelompok-kelompok ini. Terbukti dalam beberapa kasus bagaimana aparat selalu berusaha melindungi kelompok-kelompok ekstrim ini. Sebagai contoh kasus pembunuhan warga Ahmadiyah di Banten, Pengeboman gereja di Solo, Pelarangan mengadakan misa dan natalan di gereja di Bogor, dan penyerangan terhadap Islam Syi’ah di Sampang Madura. Bukankah ini bentuk tindakan yang merepresentasikan fasisme relijius?

Persoalan fasisme relijius ini bukan masalah untuk komunitas punk saja, tapi masalah bagi seluruh rakyat Indonesia yang plural. Untuk menghadapi persoalan ini seluruh lapisan masyarakat harus melepaskan segala atribut perbedaan yang ada kemudian bersatu melawan kekuatan minor yang kini sedang membajak Indonesia. Jika terus dibiarkan, ide tentang bangsa “Indonesia” yang sudah dibangun oleh para pemimpin terdahulu akan tenggelam bersamaan dengan visi Bhinneka Tunggal Ika. Tidak masalah apakah anda seorang punk atau bukan, yang penting disini adalah apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar